Film action atau laga adalah genre "berkasta sudra" di bursa apresiasi "film nyeni". Kalo anda lihat perbincangan pada festival film pada umumnya, genre laga bukan jenis yang bisa masuk dalam bahasan estetik yang mendalam. Kalo digambarkan lewat ungkapan anak sekolah film mungkin, "....nggak banyak yang bisa digali." Saking sudranya film laga, ia musti ditaruh dalam ruang apresiasi khusus agar bisa bernilai estetik. Festival film genre tertentu ada sendiri biasanya.
"Kenapa kok kamu sukanya bikin film laga?"
Ini pertanyaan yang sering kami terima. Saya kurang tahu apakah genre ini di mata para penanya masih bukan terlihat sebagai preferensi. Apa uniknya gitu loh? Orang bikin drama, saya bikin laga. Dia suka komedi, saya suka tragedi. Ini soal preferensi kan? Bisa aja secara mentah saya jawab, "Sesuka aku lah...." Tapi itu kan ndak intelek blas. Selain pertanyaan itu, kayaknya masih banyak yang beranggapan kalo orang mendadak demen laga gara-gara The Raid ya?
Padahal genre ini menjadi rajanya bioskop lokal era 90an. Kami akrab dengan nama-nama macam Barry Prima, Advent Bangun, George Rudy, Willy Dozan dll. Jadi alih-alih cuman latah, kebangkitan genre laga sebenarnya ada unsur revival dari yang pernah jaya.
So why action movie?
Ya karena kita suka film itu "ket jaman cilikanku" hehehe.
Film laga secara teknis butuh energi tinggi. Tak cuma sedari masa pengembangan, namun hingga pasca produksi. Jadi dari sisi fisik saja, produksi film laga itu "menyehatkan" walaupun juga cukup berbahaya hehehe.
Sedangkan dari isi substansifnya? Apakah yang bisa kita gali?
Saya sih tak terlalu pretensius agar film laga musti berisi filsafat tinggi. Meski yang begitu ada juga yang melakukan. Contohnya Matrix, itu film filsafat yang dibungkus laga dengan cerdas. Bagi saya film laga sebenarnya bisa menjadi ruang untuk menetralisir kemarahan yang subliminal. Di kehidupan nyata kita tak bisa seheroik itu. Film laga merupakan katarsis intelektual. Kok bisa? Ya karena kalo anda marah terus mbacok orang ala Iko Uwais dalam The Raid, maka itu jadi tak intelek. Bahkan itu jadi kriminalitas.
Film laga, sebagaimana film eksploitatif lainnya, adalah medium yang ekspresif dan legal untuk membuang sampah batin. Kenapa kita suka kekerasan dalam film, namun tidak di kenyataan? Karena film kekerasan itu sendiri bisa berfungsi sebagai tempat buangan residu batiniah. Manusia itu kan makhluk yang semiotik banget. Kita kalo marah suka mukulin sesuatu, bantingin benda atau mecahin beling. Lantas kenapa nggak jadiin itu seni sekalian?
Itulah filosofi bikin film laga.
Meski kalo udah bikin ya nggak semuluk-muluk itu pandangannya. Ya senang aja bikin.
Pertanyaan yang juga sering adalah bagaimana dengan moralitas? Nah itu bisa jadi bahan diskusi kedua.
THE FICTION MASTER tayang di GoPlay Indonesia: https://goplay.co.id/